Posts

Tentang NALA : Cintanya.

            Aku tidak tahu sejak kapan semuanya menjadi setenang ini—tenang yang bukan berarti damai, tapi lebih ke kosong yang sudah terlalu lama diam di dalam dada. Malam selalu datang dengan cara yang sama, lembut, sedikit basah, dan mengandung sisa-sisa hari yang belum sempat kutuntaskan. Dari jendela yang setengah terbuka, angin membawa suara jangkrik dan aroma hujan dari kejauhan. Lampu meja redup, cahayanya cukup untuk membuat bayangan bergerak di dinding. Di sana aku duduk, menatap ponsel yang tak kunjung berbunyi. Sudah lama aku tidak menunggu, tapi tubuhku seperti masih ingat caranya. Jari-jariku tetap menggenggam benda itu erat-erat, seolah di ujungnya ada sesuatu yang penting—padahal tidak ada apa-apa lagi. Lucu, bukan? Kita bisa kehilangan sesuatu, tapi rasa menunggunya tetap tinggal. Suara notifikasi terdengar lirih. Sebaris pesan masuk dari seseorang yang kini jadi teman biasa. “Masih bangun?” Aku menjawab pendek. “Iya, belum bisa tidur....

Belum Sepenuhnya Datang.

Sudah tiga bulan berlalu sejak ia menjejak tempat ini, tapi rasanya seperti baru kemarin ia menatap langit kota untuk pertama kalinya—sendirian, dengan tas yang terlalu berat dan dada yang terlalu sesak oleh rasa asing. Pagi selalu datang dengan caranya yang sama: lembut, tapi juga sedikit terburu-buru. Orang-orang di sekelilingnya berjalan cepat, seolah mereka sudah hafal ke mana harus pergi. Sementara ia, masih berhenti sejenak di setiap persimpangan, memastikan langkahnya tidak salah arah. “Eh, kamu nggak sarapan dulu?” suara Saka memecah pikirannya pagi itu. Ia menoleh pelan. Saka—teman barunya, mungkin salah satu dari sedikit orang yang membuat tempat ini terasa tidak terlalu sepi. “Nanti aja,” jawabnya singkat. Ia tersenyum kecil, sekadar sopan. Saka mengangguk, lalu pergi sambil mengikat tali sepatunya yang lepas. Langkah-langkah orang lain terdengar seperti gema yang tidak mau berhenti, mengisi ruang di kepala yang masih belum tenang. Begitu banyak hal yang harus ...

On My Embrace, Her.

Malam turun tanpa tergesa. Angin mengetuk jendela pelan, membawa bau tanah yang lembap. Di kamar yang redup, hanya ada lampu meja yang cahayanya seperti menolak untuk benar-benar menerangi. Semua terasa cukup. Tidak lebih, tidak kurang. Ia duduk di sampingku. Diam, tanpa perlu menyusun kalimat apa pun. Bahunya bersandar ringan, seperti beban yang akhirnya menemukan tempat untuk jatuh. Aku menoleh sekilas—mata itu setengah terpejam, tapi masih menyimpan sinar kecil, seperti bintang yang enggan padam. Aku ingin berkata banyak hal. Tentang bagaimana hari-hari sebelumnya membuatku letih, tentang betapa seringnya aku merasa asing di dunia yang ramai. Namun, entah mengapa, ketika ia ada di sini, semua kata terasa tidak perlu. Kehadirannya sendiri sudah menjadi jawaban dari semua pertanyaan yang tak sempat aku ajukan. Jadi aku memilih diam. Diam yang penuh, diam yang justru menenteramkan. Tangan kami saling mencari lalu menemukan, sederhana tapi cukup untuk mengisi ruang kosong di dada. Detik...

1312 — Not The End Of Us.

 Aku masih ingat hari itu—panas yang menusuk, debu yang beterbangan, dan suara teriakan yang tak kunjung reda. Jalanan seolah-olah menjadi panggung tempat kami bersaksi, tempat kami menyulam keberanian menjadi nyanyian lantang. Poster-poster sederhana terangkat ke udara, kertas yang kusut tapi bermakna. Tulisan tangan yang gemetar tapi tak gentar. Kami berteriak sampai suara serak, sampai dada sesak, sampai mata basah bukan karena kelemahan, melainkan karena gas air mata yang tak henti-henti merobek pernapasan. “Apa kau tidak takut?” tanya seseorang di sampingku, wajahnya separuh tertutup masker kain. Aku tersenyum getir, lalu menjawab lirih, “Kalau aku diam, aku lebih takut lagi. Takut besok tak ada lagi yang bisa kita perjuangkan.” Langkah-langkah berat para aparat terdengar, seperti guntur yang dipaksa jatuh di siang bolong. Mereka datang dengan tameng dan tongkat, sedang kami hanya dengan suara dan keyakinan. Tapi anehnya, meski tubuh ini kecil, meski tangan ini gemetar, dada t...

After Life.

Aku bangun dalam cahaya yang tak menyilaukan. Seperti pagi yang lembut, seolah dunia tahu aku sedang lelah dan memilih untuk pelan-pelan menyapaku. Tidak ada alarm yang menyentak. Tidak ada suara gaduh dari luar jendela. Hanya sinar hangat yang menyusup melalui tirai putih, seperti tangan lembut yang menyentuh pipiku—membangunkan dengan kasih. Aku merasa… bahagia. Itu aneh. Tapi tidak menggangguku. Di luar, jalanan kota bersih dan tenang. Udara segar, tanpa bau knalpot atau suara klakson. Semua orang yang kutemui tersenyum, bukan karena basa-basi, tapi seakan mereka sungguh senang melihatku. Aku berjalan seperti melayang, tapi tetap membumi. Kakiku tak pernah seberani ini menyentuh trotoar. Tidak pernah semudah ini membuka langkah. Hari-hariku sederhana. Aku bekerja di tempat yang kucintai—dikelilingi orang-orang yang menghormatiku, bukan karena pencapaian, tapi karena caraku memperlakukan mereka. Aku melakukan hal-hal kecil yang membuatku merasa hidup: menyiram bunga di balkon, ...

Tentang Benci, dan Hal-Hal Buruk yang Datang Bersamanya.

 “Aku bersumpah akan membencinya seumur hidupku—dari hati yang paling dalam. Dan kelak, jika maut menjemputku aku ingin dikubur bersama dendam yang masih menyala.” Suara tawa itu masih terngiang di telinganya. Bukan karena ia rindu—tapi karena tawa itu menjadi penanda awal dari sesuatu yang hancur. Dahulu, dua pasang kaki berjalan sejajar di lorong sekolah, saling mengisi loker dengan catatan kecil yang hanya mereka yang mengerti. Kini, jejak itu terhapus hujan, dan catatan yang dulu manis hanya menjadi serpihan dari dusta yang dipoles akrab. Ia duduk di bangku taman, tempat yang dulu mereka jadikan “markas kecil”, katanya. Tangannya menggenggam erat sebuah foto lusuh: dua gadis tersenyum, salah satunya memeluk dari samping, erat seolah tak akan pernah melepaskan. Tapi lihatlah sekarang—yang satu menggenggam kenangan, dan yang satu menggenggam pisau. Pengkhianatan tidak datang dari musuh. Ia datang dari sisi paling lemah: teman—yang tahu segalanya, yang kau percaya tak akan m...