Tentang NALA : Cintanya.
Aku tidak tahu sejak kapan semuanya menjadi setenang ini—tenang yang bukan berarti damai, tapi lebih ke kosong yang sudah terlalu lama diam di dalam dada. Malam selalu datang dengan cara yang sama, lembut, sedikit basah, dan mengandung sisa-sisa hari yang belum sempat kutuntaskan. Dari jendela yang setengah terbuka, angin membawa suara jangkrik dan aroma hujan dari kejauhan. Lampu meja redup, cahayanya cukup untuk membuat bayangan bergerak di dinding. Di sana aku duduk, menatap ponsel yang tak kunjung berbunyi. Sudah lama aku tidak menunggu, tapi tubuhku seperti masih ingat caranya. Jari-jariku tetap menggenggam benda itu erat-erat, seolah di ujungnya ada sesuatu yang penting—padahal tidak ada apa-apa lagi. Lucu, bukan? Kita bisa kehilangan sesuatu, tapi rasa menunggunya tetap tinggal. Suara notifikasi terdengar lirih. Sebaris pesan masuk dari seseorang yang kini jadi teman biasa. “Masih bangun?” Aku menjawab pendek. “Iya, belum bisa tidur....