1312 — Not The End Of Us.

 Aku masih ingat hari itu—panas yang menusuk, debu yang beterbangan, dan suara teriakan yang tak kunjung reda. Jalanan seolah-olah menjadi panggung tempat kami bersaksi, tempat kami menyulam keberanian menjadi nyanyian lantang.

Poster-poster sederhana terangkat ke udara, kertas yang kusut tapi bermakna. Tulisan tangan yang gemetar tapi tak gentar. Kami berteriak sampai suara serak, sampai dada sesak, sampai mata basah bukan karena kelemahan, melainkan karena gas air mata yang tak henti-henti merobek pernapasan.

“Apa kau tidak takut?” tanya seseorang di sampingku, wajahnya separuh tertutup masker kain.

Aku tersenyum getir, lalu menjawab lirih, “Kalau aku diam, aku lebih takut lagi. Takut besok tak ada lagi yang bisa kita perjuangkan.”

Langkah-langkah berat para aparat terdengar, seperti guntur yang dipaksa jatuh di siang bolong. Mereka datang dengan tameng dan tongkat, sedang kami hanya dengan suara dan keyakinan. Tapi anehnya, meski tubuh ini kecil, meski tangan ini gemetar, dada terasa lapang. Ada ribuan orang di sekitarku. Kami semua satu: suara yang tak bisa lagi ditutup, api yang tak bisa lagi dipadamkan.

Aku melihat seseorang di barisan depan terjatuh. Kepalanya terbentur keras, darah mengalir. Sekejap, waktu seperti membeku. Ada yang berlari menolong, ada yang berteriak, ada yang panik. Namun tidak ada yang benar-benar pergi. Kami tetap di sana, meski tahu itu bisa jadi kami selanjutnya.

“Jangan mundur!” suara lantang dari pengeras terdengar. “Kita sudah terlalu jauh untuk kembali!”

Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Kata-kata itu, entah mengapa, lebih menusuk daripada tongkat besi mana pun. Kami bukan lagi sekadar massa. Kami adalah luka yang dibungkam terlalu lama. Kami adalah marah yang disiram dengan ketidakadilan. Kami adalah generasi yang dipaksa mengalah, tapi hari itu memilih melawan.

Langit sore meremang. Suara klakson bercampur dengan sirene. Tangisan dan teriakan menyatu, menghasilkan simfoni aneh yang tak pernah kudengar sebelumnya. Di tengah kekacauan itu, aku menengadah. Melihat langit yang kelabu, aku berbisik dalam hati:

Apakah ini yang disebut cinta pada negeri?

Tubuhku lelah. Nafasku berat. Mataku perih. Tapi di dada ada sesuatu yang tak bisa dihentikan: keyakinan bahwa keadilan layak diperjuangkan. Bahwa suara kami, sekecil apa pun, akan meninggalkan jejak.

Malam akhirnya datang. Kami bubar perlahan, satu per satu, dengan luka, dengan sesak, dengan perih. Tapi juga dengan api kecil di dada, yang kupastikan tak akan padam.

Di jalan itu, kami bukan sekadar berdemo. Kami menulis sejarah. Dan kelak, jika ada yang bertanya, aku akan menjawab:

“Aku ada di sana. Aku bersaksi. Aku bernyanyi di tengah amarah, agar negeri ini tahu: kami tidak akan diam.”

Negeri ini sedang sakit, semoga lekas membaik.

Comments

Popular posts from this blog

Acceptance.

After Life.

Tentang Benci, dan Hal-Hal Buruk yang Datang Bersamanya.