Tentang Benci, dan Hal-Hal Buruk yang Datang Bersamanya.
“Aku bersumpah akan membencinya seumur hidupku—dari hati yang paling dalam. Dan kelak, jika maut menjemputku aku ingin dikubur bersama dendam yang masih menyala.”
Suara tawa itu masih terngiang di telinganya. Bukan karena ia rindu—tapi karena tawa itu menjadi penanda awal dari sesuatu yang hancur. Dahulu, dua pasang kaki berjalan sejajar di lorong sekolah, saling mengisi loker dengan catatan kecil yang hanya mereka yang mengerti. Kini, jejak itu terhapus hujan, dan catatan yang dulu manis hanya menjadi serpihan dari dusta yang dipoles akrab.
Ia duduk di bangku taman, tempat yang dulu mereka jadikan “markas kecil”, katanya. Tangannya menggenggam erat sebuah foto lusuh: dua gadis tersenyum, salah satunya memeluk dari samping, erat seolah tak akan pernah melepaskan. Tapi lihatlah sekarang—yang satu menggenggam kenangan, dan yang satu menggenggam pisau.
Pengkhianatan tidak datang dari musuh. Ia datang dari sisi paling lemah: teman—yang tahu segalanya, yang kau percaya tak akan menusuk. Tapi teman itu justru tahu di mana harus menancapkan luka agar kau berdarah paling dalam.
Hari itu masih terekam jelas. Suatu peristiwa kecil, katanya. Tapi dari kecil itu, tumbuh duri.
“Kamu percaya aku, kan?” katanya waktu itu, dengan mata teduh yang dulu terasa seperti rumah.
Dan ia, si bodoh, mengangguk. Karena waktu itu kepercayaan belum mengenal kata “retak”.
Siang itu, semua orang tahu. Rahasianya—yang selama ini hanya ia bagi pada satu orang—disebar ke seisi sekolah. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang lain tertawa atas luka yang belum sempat ia jahit sendiri. Dan satu-satunya orang yang tahu rahasia itu hanyalah dia.
Malam ini, ia merekam dirinya sendiri. Dengan suara bergetar tapi penuh tekad.
| “Aku gak akan lupa. Aku gak akan pura-pura baik-baik aja. Ini bukan soal sakit hati biasa.. ini soal harga diri yang diinjak-injak sama orang yang pernah aku peluk tiap hari.”
| “Lucu ya, aku pernah percaya kamu nggak akan nyakitin aku. Dan ternyata.. kepercayaan itu cuma jadi peluru paling tajam buatku.”
| “Aku gak butuh kamu minta maaf. Aku cuman pengen kamu tahu—aku ingat. Sampai sekarang. Dan mungkin selamanya.”
Ia menatap gelap malam. Angin lewat perlahan. Di dadanya, dendam itu tumbuh, bukan untuk menyakiti balik, tapi untuk menjaga dirinya agar tak jatuh ke lubang yang sama lagi.
Karena beberapa luka memang tidak perlu diobati.
Cukup diingat—agar tak terluka lagi.
Dan untuk pertama kalinya sejak pengkhianatan itu, ia tidak menangis. Hanya diam. Tapi diam yang penuh arti. Diam yang menyimpan amarah yang tidak akan padam, bahkan jika waktu telah tua.
Comments
Post a Comment