Acceptance.
“Aku tidak apa-apa, akan ku matikan rekaman ini sekarang.”
Telunjuk yang semula menahan tombol play pada voice recorder menjauh. Sepasang matanya masih menatap lekat pada tulisan di pojok kanan alat tua itu, sudah berapa lama ia merekam dirinya berbicara.
Tiga puluh menit. Dalam waktu sepanjang setengah jam itu, ucapan apa saja yang sudah mengalir dari mulutnya? Apakah penuh dengan kabar gembira dan tawa atau malah sang lara yang memenuhi rekaman pada file voice recorder kali ini? Hanya ialah empunya kisah yang tahu.
Malam kemarin, ia merasa bahagia. Sungguh, tidak ada yang salah dengannya hari ini mulai dari matanya terbuka karena matahari pagi yang lembut menyentuh kelopaknya, hingga sekarang. Namun, tanpa terduga, air mata meluncur melewati pipinya—tanpa alasan yang jelas. Ia marah, marah pada dirinya karena sudah jelas janji yang ia buat dengan dirinya sendiri untuk tidak menangis telah ambruk, begitu saja. Berani sekali kesedihan datang di saat semua sedang baik-baik saja seakan dunia menentangnya untuk tersenyum.
Namun, masih belum terjawab. Apa yang membuat kesedihan ini datang secara tiba-tiba? Ia tidak ingat mengalami sesuatu yang tidak nenyenangkan hatinya, ia juga tidak tahu apakah ia secara tidak sengaja melukai perasaan orang di sekitarnya sehingga karma menghampirinya secara tiba-tiba.
Mata itu menoleh, menelusuri kamarnya yang redup, hanya diterangi cahaya rembulan yang tenang—cahaya yang, entah bagaimana, mencerminkan kesedihannya yang belum bisa ia pahami. Ia memperhatikan setiap benda di sekitarnya, seolah semua tampak asing. Seakan ini bukan lagi ruang yang sama, melainkan lembar kosong yang menunggu ditulis kenangan baru. Pandangan itu terhenti pada kalender. 8 Mei.
Matanya membeku. Ada jeda di dadanya. Dan tiba-tiba, ia ingat—ia telah melupakan seseorang. Itulah duka yang diam-diam tinggal di malam ini.
Seharusnya, ia tidak lupa. Tidak mungkin ia lupa—bagaimana bisa, ketika orang itu pernah menjadi yang terpenting baginya? Dulu, orang itu adalah miliknya. Satu-satunya. Dan kini, ia justru melupakannya? Apa ini pertanda baik—bahwa akhirnya ia bisa melepaskan? Atau justru menakutkan, karena hidup terus berjalan, dan perlahan, orang itu benar-benar akan pergi menjalani hidupnya sendiri.
Ia menunduk perlahan, mengusap sisa air mata yang belum sempat mengering. Tangannya meraba sisi ranjang, lalu bergerak menuju laci samping tempat tidurnya.
Di dalamnya, tergeletak sebuah voice recorder tua—warna hitamnya sudah memudar, dan tombol-tombolnya sedikit aus karena sering digunakan. Ia mengambilnya pelan, seolah benda itu rapuh, seolah menyentuhnya saja bisa membangkitkan kenangan.
Kedua matanya menatap layar kecil di pojok kanan alat itu. Kosong. Belum ada rekaman baru.
Ia menggenggam alat itu dengan kedua tangan, menarik napas panjang, dan duduk lebih tegak di atas ranjang. Sunyi menyelimuti kamar. Jemarinya bergerak ke ara tombol play pada voice recorder itu.
Klik.
Tombol merah menyala, menandakan alat itu sudah mulai merekam.
“Suaraku sudah jelas belum ya..? Sudah kali ya..”
“Pukul sepuluh malam, tanggal delapan mei. Halo… rekaman kali ini kayaknya bukan aku yang lagi nyeritain hal unik apa yang sudah aku alami hari ini. Hari ini mungkin bakalan sedikit mellow.” Ia tertawa pelan.
“Hari ini cukup bikin capek, seperti biasanya ya. Mulai dari hari senin.. selasa.. rabu.. sampai jumat pokoknya capek. Tapi untuk hari kamis yang spesial ini, selain rasa capek, aku juga ngerasain yang namanya.. kehilangan.”
“Empat hari yang lalu aku seharusnya ingat, tau kalau itu hari penting. Hari ulang tahunnya.. kalau aku ingat pasti aku udah cepet-cepet nyari handphone terus buka roomchat kami dan pasti… ya.. langsung ngucapin selamat ulang tahun buat dia sih.” Diberinya jeda, rasa berat dihati masih ada. Maka ia terus berbicara hingga perasaan itu hilang.
“Tapi kali ini enggak, aku lupa. Sudah lewat empat hari malah. Kok bisa ya? Ini tuh jahat gak sih hitungannya?”
“Dua tahun setelah kami putus, ngelanjutin hidup masing-masing tuh rasanya kayak.. gak tau.. bingung. Kami mengakhiri hubungan secara baik-baik.. ngucapin selamat tinggal juga baik-baik.. malah sampai kami mendoakan satu sama lain. Kurang apa lagi coba?” Keluhan itu seolah-olah mencabik hatinya, karena perlahan membuka kembali memori pada sore itu.
Ia terdiam sejenak, voice recorder yang masih merekam itu tetap digenggamnya. Air mata yang semula hilang kini melurusi pipinya lagi. Sakit.
“Mungkin.. problemnya itu.. ya.. aku sendiri.” Kekehnya pelan.
“Takut kehilangan, walau dua tahun sudah lewat, masih bisa liat kabar dia lewat instagram ya tetep aja.. aku ngerasa dia adalah kehilangan terbesarnya aku. Padahal kabarnya baik loh, dia keliatannya jadi lebih bahagia.. enjoy.. lebih dari waktu kami masih bareng. Bagus kan? Terus kenapa aku yang sedih? Selfish banget.”
“Aku seharusnya juga ngejalanin hidup aku.. and i did live my own life. Sampai-sampai sudah di titik bahagianya terus.. nangis deh pas tau aku ngelewatin hari penting kamu.”
“Kak, i love you. And i’m sorry. Dua tahun itu waktu yang lama, kita berdua udah punya kehidupan masing-masing. Kamu dan hidupmu, dan aku dengan hidupku. Tapi kadang, aku masih sering banget ngebayangin kalau gimana seandainya kamu tau kabar kalau aku berhasil keterima di kampus impian aku, gimana rasanya kita masih sering main bareng, waktu kamu tau aku sudah mulai berani kemana-mana sendiri. Aku selalu mau kamu tau kabar aku.. aku mau kamu tau kalau aku baik-baik aja.. aku egois ya?”
“Terus tadi.. pas aku udah kirim ucapan selamat ulang tahun ke kamu di detik itu aku jadi mikir.. aku seriusan lupa? Aku jahat ya? Ini baik gak sih? Aku sudah bisa ngejalanin kehidupanku sepenuhnya tanpa mikirin kamu, tanpa mikirin kita. Aku takut, kalau aku beneran lupa, gimana kalau seandainya kita ketemu lagi? Semuanya bakalan berubah. Aku takut cara kita bicara satu sama lain berubah.”
“Tapi.. aku bakal coba.. buat.. ya.. lupain kamu lebih keras lagi. Karena aku sadar.. kalau melupakan tuh gak selamanya seseram itu. Aku ngebuang hal yang buruk dari kita, bukan yang bikin kita bahagia sampai ketawa, enggak. Good memories will stay and the bad are gone. Anggep aja aku lagi milah-milah kenangan yang ada di otak deh ya.”
“Kayaknya segitu dulu.. yang jelas untuk rekaman ini aku bakalan kasih judul Acceptance. Karena aku akan mulai menerima kenyataan.. keadaan.. dan kita yang sekarang.”
“Aku gak papa.. aku matiin ya. Rekaman hari ini selesai.”
Klik.
Tombol merah itu padam.
Ia menatap voice recorder di tangannya, lama, seolah menunggu jawab yang tak pernah datang. Lalu pandangannya berpindah ke langit yang sendu.
Di sana, di antara hening malam yang menggantung, ia melanjutkan percakapan itu—bukan lagi dengan suara, tapi lewat diam. Kepada langit. Kepada dirinya sendiri.
Comments
Post a Comment