After Life.

Aku bangun dalam cahaya yang tak menyilaukan. Seperti pagi yang lembut, seolah dunia tahu aku sedang lelah dan memilih untuk pelan-pelan menyapaku. Tidak ada alarm yang menyentak. Tidak ada suara gaduh dari luar jendela. Hanya sinar hangat yang menyusup melalui tirai putih, seperti tangan lembut yang menyentuh pipiku—membangunkan dengan kasih.

Aku merasa… bahagia.

Itu aneh. Tapi tidak menggangguku.


Di luar, jalanan kota bersih dan tenang. Udara segar, tanpa bau knalpot atau suara klakson. Semua orang yang kutemui tersenyum, bukan karena basa-basi, tapi seakan mereka sungguh senang melihatku. Aku berjalan seperti melayang, tapi tetap membumi. Kakiku tak pernah seberani ini menyentuh trotoar. Tidak pernah semudah ini membuka langkah.


Hari-hariku sederhana. Aku bekerja di tempat yang kucintai—dikelilingi orang-orang yang menghormatiku, bukan karena pencapaian, tapi karena caraku memperlakukan mereka. Aku melakukan hal-hal kecil yang membuatku merasa hidup: menyiram bunga di balkon, menulis di kafe favorit, tertawa bersama teman-teman yang mengerti saat aku diam, dan mendengarkan musik tanpa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dunia.


Dan yang paling indah: aku tidak pernah merasa sendiri.


Setiap malam, sebelum tidur, aku berbisik pada langit-langit kamarku, “Terima kasih.” Lalu kupeluk diriku sendiri, tanpa perasaan aneh, tanpa menyalahkan tubuh ini atas segala luka yang dulu pernah kuberi padanya.


Aku… utuh. Bukan tanpa cacat, tapi sepenuhnya milikku.


Tak ada suara yang mengejekku di kepala. Tak ada wajah yang berkata aku tidak cukup. Tak ada mimpi buruk tentang masa depan, atau bayangan masa lalu yang mencengkram. Aku bebas.


Hingga suatu hari, aku duduk sendiri di taman, ketika seorang anak kecil berlari melewatiku, tertawa sambil memegang balon biru.


Aku menoleh. Balon itu melayang ke langit.


Aku mendongak. Langit masih biru. Tapi birunya terasa… kosong. Seolah tak ada ujungnya. Dan untuk pertama kalinya sejak aku “hidup” di sini, aku merasa dingin.


Aku mulai bertanya—kapan terakhir kali aku menangis?


Lalu aku ingat.


Dingin itu datang dari kamar yang gelap, dari tubuhku sendiri yang gemetar di lantai kamar mandi, dari sebotol kecil di tangan kanan dan surat singkat di tangan kiri. Aku ingat… aku menyerah.


Tapi di sinilah aku—duduk di taman dengan langit yang sempurna. Bahagia. Dicintai. Dihargai. Bagaimana bisa?


Lalu suara itu datang. Dari dalam. Dari sesuatu yang lebih tinggi, lebih dalam, lebih mengerti dariku.


“Inilah hidupmu… jika kamu bertahan.”


Aku terdiam. Nafasku tercekat.


Bukan mimpi. Ini bukan kebahagiaan yang nyata. Ini hanyalah kemungkinan. Bayangan yang ditawarkan alam setelah nyawa pergi lebih dulu. Aku sedang melihat apa yang bisa terjadi… jika aku memilih untuk tetap tinggal.


Mataku memanas. Untuk pertama kalinya sejak aku ada di sini, aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena aku melihat hidup yang tak pernah kudapatkan. Aku bahagia—karena akhirnya tahu aku mampu bahagia. Tapi aku juga hancur—karena aku tidak sabar menunggu.


“Maafkan aku…” bisikku pada diriku sendiri yang telah pergi.


“Dan terima kasih…” karena akhirnya aku tahu: aku pantas hidup, meskipun tak sempat kuhidupi.


Langit kembali biru. Tapi kali ini, birunya mengandung harap.


Mungkin… suatu hari nanti, aku akan dilahirkan kembali. Diberi kesempatan kedua. Dan jika itu datang, aku janji tak akan menyerah terlalu cepat.



Comments

Popular posts from this blog

Acceptance.

Tentang Benci, dan Hal-Hal Buruk yang Datang Bersamanya.