Tentang NALA : Cintanya.

 


        Aku tidak tahu sejak kapan semuanya menjadi setenang ini—tenang yang bukan berarti damai, tapi lebih ke kosong yang sudah terlalu lama diam di dalam dada. Malam selalu datang dengan cara yang sama, lembut, sedikit basah, dan mengandung sisa-sisa hari yang belum sempat kutuntaskan. Dari jendela yang setengah terbuka, angin membawa suara jangkrik dan aroma hujan dari kejauhan. Lampu meja redup, cahayanya cukup untuk membuat bayangan bergerak di dinding.

Di sana aku duduk, menatap ponsel yang tak kunjung berbunyi.
Sudah lama aku tidak menunggu, tapi tubuhku seperti masih ingat caranya. Jari-jariku tetap menggenggam benda itu erat-erat, seolah di ujungnya ada sesuatu yang penting—padahal tidak ada apa-apa lagi.

Lucu, bukan?
Kita bisa kehilangan sesuatu, tapi rasa menunggunya tetap tinggal.

Suara notifikasi terdengar lirih. Sebaris pesan masuk dari seseorang yang kini jadi teman biasa.

“Masih bangun?”
Aku menjawab pendek.
“Iya, belum bisa tidur.”
“Lagu Tulus yang baru udah denger belum? Nala.”
“Udah.”
“Kayaknya kamu banget.”
Aku diam beberapa saat, sebelum mengetik lagi.
“Iya, mungkin karena aku juga lama merasa sulit disuka.”

Setelah itu, tidak ada balasan. Tapi aku tidak menunggu. Aku sudah tahu pola seperti ini—hampir sama seperti dulu.

Dulu.
Kata yang sederhana, tapi punya cara sendiri untuk menusuk pelan.

        Kami dulu sering bicara sampai larut, tentang hal-hal kecil yang entah kenapa terasa penting. Tentang kopi sachet yang diseduh dua kali, tentang mimpi yang selalu lupa dicatat, tentang langit yang katanya selalu terlihat lebih cantik dari jendela kamarnya. Waktu itu aku pikir, tidak apa-apa kalau aku yang lebih banyak mendengarkan, karena mungkin dari situ ia akan sadar betapa aku memperhatikannya lebih dari siapapun.

Tapi ternyata tidak semua hal bisa tumbuh dari perhatian.
Ada yang tetap diam meski disirami setiap hari.

        Aku masih ingat suatu malam—ia menyebut nama seseorang, pelan sekali, tapi cukup untuk membuat dadaku tenggelam. Aku tertawa waktu itu, berusaha terlihat biasa, padahal rasanya seperti kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki.

Sejak itu, aku mulai belajar:
bahwa terkadang, kita bukan orang yang dinanti.
Kita cuma tempat singgah di antara dua perasaan yang tidak sempat bersentuhan.

        Malam semakin larut. Jam di dinding berdetak pelan, seolah tak ingin mengganggu pikiranku yang berputar. Aku menatap langit di luar jendela—kosong, tapi entah kenapa masih terasa penuh. Mungkin aku sudah berhenti berharap, tapi belum berhenti mengingat. Dan mungkin itu tak apa. Aku tidak lagi menunggu pesan darinya, tidak lagi berharap ia kembali menyebut namaku di antara percakapannya. Aku hanya duduk di sini, dengan tenang, menatap layar ponsel yang diam seperti permukaan air.

Aku tahu, beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk dimiliki—hanya untuk dikenang dengan cara yang paling lembut.








Comments

Popular posts from this blog

Acceptance.

After Life.

Tentang Benci, dan Hal-Hal Buruk yang Datang Bersamanya.