On My Embrace, Her.
Malam turun tanpa tergesa. Angin mengetuk jendela pelan, membawa bau tanah yang lembap. Di kamar yang redup, hanya ada lampu meja yang cahayanya seperti menolak untuk benar-benar menerangi. Semua terasa cukup. Tidak lebih, tidak kurang.
Ia duduk di sampingku. Diam, tanpa perlu menyusun kalimat apa pun. Bahunya bersandar ringan, seperti beban yang akhirnya menemukan tempat untuk jatuh. Aku menoleh sekilas—mata itu setengah terpejam, tapi masih menyimpan sinar kecil, seperti bintang yang enggan padam.
Aku ingin berkata banyak hal. Tentang bagaimana hari-hari sebelumnya membuatku letih, tentang betapa seringnya aku merasa asing di dunia yang ramai. Namun, entah mengapa, ketika ia ada di sini, semua kata terasa tidak perlu. Kehadirannya sendiri sudah menjadi jawaban dari semua pertanyaan yang tak sempat aku ajukan.
Jadi aku memilih diam. Diam yang penuh, diam yang justru menenteramkan. Tangan kami saling mencari lalu menemukan, sederhana tapi cukup untuk mengisi ruang kosong di dada.
Detik berjalan lebih lambat. Malam memanjang, tapi tidak terasa dingin. Ada sesuatu yang berdenyut, tenang tapi dalam—bahwa dunia di luar sana mungkin masih gaduh, tapi di sini, segalanya bisa berhenti sejenak.
Namun, di balik ketenangan itu, ada rasa takut yang perlahan mengetuk. Bagaimana jika semua ini hanya sesaat? Bagaimana jika besok ia pergi, dan aku hanya tinggal dengan bayangan yang terus membekas? Bahagia ini terasa begitu rapuh, seolah hanya perlu satu tarikan waktu untuk lenyap.
Aku menunduk sedikit, menghirup wangi rambutnya yang samar. Hanya sebentar, tapi cukup membuatku sadar: aku tidak hanya memeluk dirinya malam ini, aku juga sedang memeluk ketakutan untuk kehilangannya.
Malam terus berjalan, dan aku tidak tahu ke mana ia akan berakhir. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin berlama-lama di sini. Bersamanya. Perempuan yang sedang dalam pelukanku—dan ketakutan halus bahwa pelukan ini, suatu hari nanti, mungkin tinggal kenangan.
Comments
Post a Comment